Salah seorang anggota pengurus Yayasan Pusat Film Indonesia, Ibu Atika Makarim, mengundang mantan Direktur Museum Film Australia Ray Edmondson ke Jakarta pada tahun 2007 sebagai konsultan bagi rencana pendirian sebuah pusat audiovisual dan perpustakaan film. Seorang rekan kerja dari Museum Film Belanda, Bapak Ad Polle, juga hadir di Jakarta dengan kapasitas yang sama. Berikut ini kutipan dari laporan kegiatan tersebut.
LATAR BELAKANG
Warisan audiovisual Indonesia tersebar di beberapa institusi, termasuk jaringan radio dan televisi. Beberapa lembaga nirlaba dan pemerintah mendapatkan mandat untuk mengumpulkan dan melestarikan dokumen-dokumen audiovisual. Beberapa di antaranya:
• Perpustakaan Nasional Indonesia, mengumpulkan format seperti CD dan DVD hasil karya pelaku audiovisual di Indonesia;
• Arsip Nasional, mengumpulkan film, pita video, dan rekaman suara sebagai bagian dari tugasnya untuk melestarikan dokumen negara;
• Sinematek Indonesia, mengumpulkan film/dokumentasi dan juga memutarkan film;
• TVRI, jaringan televisi milik pemerintah, memiliki koleksi masif berbagai format video.
Tidak ada informasi terinci atas apa yang telah dilakukan lembaga-lembaga tersebut, maka secara umum berdasarkan pengamatan dapat dikatakan:
• Kurang terlihat adanya kerjasama di antara lembaga-lembaga itu;
• Kurangnya dukungan sumber daya manusia dan peralatan terutama dalam kasus Sinematek Indonesia;
• Keberlangsungan koleksi terancam karena tempat penyimpanan tidak memadai, dan kemungkinan ada banyak materi audiovisual yang menghilang dari koleksi dalam beberapa tahun terakhir;
• Selain Perpustakaan Nasional, kemungkinan publik mengakses koleksi cukup terbatas;
• Tidak jelas bagaimana rencana digitalisasi akan dijalankan.
Terlepas dari kondisi ini, lembaga baru apapun perlu mengenal dan menghargai mandat yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut, melakukan upaya kerja sama dan mengerti kebijakan internal.